28 April 2010

Angin Demokrasi Berhembus di Mesir

Oleh R u m a d i


PERKEMBANGAN demokrasi di belahan dunia Arab kini menjadi perhatian dunia internasional. Setelah Irak berhasil melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) dan memilih presidennya secara langsung meskipun diwarnai berbagai aksi kekerasan, Saudi Arabia yang untuk kali pertama akan memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya meskipun hanya untuk kaum pria, kini Mesir juga sedang melakukan reformasi politik yang cukup mengagetkan.
Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 25 tahun tiba-tiba mengusulkan kepada parlemen Mesir untuk mereformasi sistem pemilu yang memungkinkan rakyat memilih secara langsung dan rahasia, serta sistem yang memungkinkan ada calon presiden lebih dari satu. Namun, Mubarak juga mengatakan bahwa setiap calon presiden harus anggota dari partai politik yang diakui pemerintah dan calon presiden harus disetujui oleh parlemen.
Selama ini Mesir menjalankan referendum untuk menyetujui seorang presiden, bukan memilih, sekali dalam enam tahun. Pada referendum itu, warga hanya disuruh untuk menyatakan “ya” atau “tidak” pada calon presiden tunggal yang ditunjuk oleh parlemen. Melalui mekanisme ini, sejak berkuasa pada tahun 1981, setelah menggantikan Anwar Sadat -yang tewas dibunuh oleh pengawalnya sendiri Letnan Khalid Islambuli- Mubarak memenangi empat kali referendum dengan suara "ya" 90 persen. Melalui referendum, rakyat seolah-olah dimintai pendapatnya meskipun yang terjadi sebenarnya adalah sekedar minta justifikasi. Hal ini mirip seperti yang terjadi di Indonesia pada zaman orde baru, dimana melalui “mekanisme pseudo-demokrasi” mereka melanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun.
Namun usulan tersebut tidak bisa dilakukan kecuali harus mengamandemen atas butir nomor 76 konstitusi Mesir. Usulan itu adalah yang pertama dalam sejarah modern Mesir sejak diterapkannya sistem republik pasca revolusi tahun 1952. Sejak revolusi yang berhasil menjungkalkan sistem monarchi tersebut, partai tunggal telah mengunci kekuasaan di Mesir. Karena itu, cukup masuk akal jika tajuk rencana harian terkemuka Mesir Al Ahram menulis usulan sebagai "Inisiatif Historis dan Titik Balik Perubahan".
Harian itu menuliskan bahwa Mesir kini tengah memasuki arah reformasi politik total. Usulan melakukan reformasi politik secara total itu juga dinilai sebagai upaya menangkis keraguan berbagai pihak bahwa Mesir adalah negara pionir di kawasan Timur Tengah dalam memimpin proses reformasi politik. "Usulan itu adalah demi kepentingan masa depan Mesir dan dunia Arab, di tengah perubahan politik dan tatanan hubungan internasional," demikian Al Ahram (seperti dikutip dalam Kompas, 28/3/05) .
Dalam konteks situasi makro Mesir dan dunia Arab, sesungguhnya usulan Mubarak itu merupakan hasil dari akumulasi politik di dalam negeri dan dunia Arab. Usulan amandemen itu sebenarnya sudah bagian dari agenda dialog nasional antara partai yang berkuasa dan partai-partai oposisi yang terus mendesakkan reformasi. Dialog tersebut menghasilkan kesepakatan mengenai pentingnya amandemen konstitusi untuk mengakomodasi dan mendorong perubahan politik dalam negeri, dunia Arab dan internasional. Usulan itu juga merupakan refleksi dari kesepakatan politik baru dalam masyarakat Mesir tentang keharusan peralihan dari sistem multi partai terbatas pada sistem demokrasi komprehensif.
***
Dinamika politik di Mesir dan dunia Arab pada umumnya, tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan dinamika baru politik internasional, terutama pasca pelantikan George W Bush sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) periode ke dua. Dalam pidato pelantikan beberapa waktu lalu, George W Bush memberi titik tekan akan missinya untuk menggelorakan “demokrasi dan kebebasan” di seluruh belahan dunia. Dapat dipastikan, angin demokrasi yang ditiupkan AS berhembus kuat di dunia Arab karena wilayah ini senantiasa diidentifikasi sebagai sebagai surganya pemerintahan monarchi dan otoriter.
Selama ini arus demokratisasi di dunia Arab berjalan dengan sangat lamban, sehingga banyak pengamat yang skeptis dengan perkembangan demokrasi di wilayah ini. Oleh karena itu, pidato George W Bush dapat dilihat seperti “angin kencang” yang dapat mempercepat proses demokratisasi. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa kuatnya hegemoni AS terhadap dunia Arab. Sekarang ini, dunia Arab seolah tidak mempunyai pilihan kecuali harus mengikuti selera dan cita rasa AS.
Respon positif Hosni Mubarak atas ajakan AS untuk mengembangkan demokrasi dan kebebasan di dunia Arab, terutama Mesir, seolah ingin mendayung diantara dua karang. Di satu sisi Hosni Mubarak telah menyenangkan hati George W Bush-AS dan itu berarti akan memudahkan pergaulan internasionalnya, dan di pihak lain Hosni Mubarak berusaha untuk meredam kekuatan oposisi dalam negeri yang terus mendesak reformasi politik.
Meski demikian, pemerintah AS nampak hati-hati dalam menanggapi perkembangan ini. "Kami percaya, warga di semua negara mendapat manfaat dari calon-calon pemimpin yang dipilih secara fair. Ini merupakan sebuah langkah ke arah sistem politik terbuka. Kami menyambutnya," kata jubir Departemen Luar Negeri AS Steven Pike. (Kompas, 28 Pabruari 2005). Posisi Mesir tentu saja sangat penting bagi dunia Arab, sehingga AS berpendapat reformasi dunia Arab harus dimulai dari Mesir dengan memanfaatkan momentum pemilu presiden Mesir pada September 2005.
Sementara itu, kalangan oposisi dalam negeri, meskipun menyambut positif usulan Hosni Mubarak, namun pada umumnya mereka skeptis hal itu akan membawa dampak positif bagi reformasi politik Mesir secara keseluruhan. Keraguan itu muncul karena usulan Hosni Mubarak untuk mengubah undang-undang pemilu dan membuka kesempatan calon presiden lebih dari satu orang dikaitkan dengan persetujuan parlemen. Sedangkan parlemen Mesir didominasi kroni Mubarak, sehingga perubahan ini dinilai sebagai akal-akalan Mubarak untuk memperkuat posisinya. Belum lagi munculnya isu bahwa Mubarak telah mempersiapkan skenario untuk putranya, Jamal Bubarak, sebagai pengganti apabila dia gagal menjadi calon presiden karena usianya yang sudah uzur.
Mubarak menyadari bahwa popularitasnya di mata rakyat semakin menurun. Jajak pendapat yang dilakukan Aljazeera Net dengan melibatkan 46.942 responden menunjukkan bahwa mayoritas mutlak menolak perpanjangan jabatan Presiden Hosni Mubarak dengan suara 90,7 persen dan hanya 9,3 persen yang setuju (Kompas, 28 Pebruari 2005). Meski demikian, hal ini tidak berarti Mubarak akan dengan mudah menyerahkan kekuasaannya kepada pihak lain, apalagi kepada kekuatan oposisi.
Bila dilacak ke belakang, karir kepresidenan Hosni Mubarak pada awalnya cukup baik. Berbeda dengan pendahulunya, Anwar Sadat, Mubarak menyusuri jalan liberalisasi dan toleransi politik yang lebih besar, namun pada saat yang sama ia menanggapi dengan tegas orang-orang yang terpaksa melakukan tindak kekerasan untuk menantang otoritas pemerintah. Secara hati-hati ia bisa membedakan antara perselisihan politik dan keagamaan dengan ancaman langsung terhadap negara. Ia berhasil meluluhlantahkan pemberontakan yang ditimbulkan oleh kekuatan militan Islam, berhasil menengahi bentrok atara orang Islam dan Kristen Koptik, mengadili dan mengeksekusi pembunuh Anwar Sadat. Mubarak juga memperbolehkan terbitan-terbitan keagamaan untuk menyuarakan oposisi mereka, mensponsori perdebatan di TV antara militan Islam dengan wakil lembaga agama dari Universitas al-Azhar.
Namun pada pertengahan 1980-an, liberalisasi dan keterbukaan yang digelorakan Mubarak justru memberi kesempatan kepada kekuatan-kekuatan militan untuk merangsek ke pusat kekuasaan. Ikhwanul Muslimin yang menjadi lokomotif gerakan militan di Mesir justru menjadi kekuatan baru yang menguasai semua lini kehidupan, baik politik, sosial, dan ekonomi. Belakangan kekuatan Ikhwan memang terfragmentasi dalam berbagai arus kepentingan. Namun kekuatan moderat mereka justru berani melancarkan kecaman dan tuntutan kepada Hosni Mubarak agar membuka ruang demokratisasi yang lebih besar, representasi politik, perhormatan atas hak asasi manusia, dan memberi ruang partisipasi politik yang lebih besar kepada rakyat (John L Esposito: 1994).
Dengan demikian, angin demokratisasi yang sekarang berhembus di Mesir harus diwaspadai bukan sekedar memberi peluang kepada rakyat untuk menentukan dan memilih presidennya secara langsung, tapi harus juga dipikirkan sejauhmana sistem itu akan memberi dampak pada pengembangan kebebasan. Hal ini penting, karena mekanisme demokrasi bisa saja membunuh dirinya sendiri.***

Penulis R u m a d i
Peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM), Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar