4 Juni 2010

HUKUM WARIS ANAK ANGKAT

Kata Pengantar

Dinegara kita pengangkatan anak semakin berkembang karena banyaknya anak yang terlantar akibat adanya bencana tsunami, bayi yang lahir hidup (life birth) yang dibuang oleh orang tua/ keluarganya untuk menutupi malu atau aib keluarga, karena bayi lahir diluar perkawinan sebagai akibat free sex atau kumpul kebo, atau bayi itu ditinggalkan di rumah sakit, karena yang bersangkutan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya hingga mengakibatkan terlantarnya bayi, bahkan bisa berakibat kematiannya.
Oleh karena itu pegangkatan anak semakin mencuat akhir-akhir ini sebagaimana Islam mewajibkan siapa saja yang menemukan bayi terlantar untuk segera menyelamatkan jiwanya. Dalam surat Al-Maidah ayat 32:
ومن احياها فكانما احيا الناس جميعا
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seola-olah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah:32).
Pada umumnya dikalangan bangsa-bangsa yang menganut sistem adopsi, anak angkat mempunyai kedudukan hukum seperti anak kandung sendiri, hal itu akan berimplikasi terhadap status hukumnya yakni dalam hak kewarisan. Untuk mengetahui status hukum anak angkat dalam kewarisan maka penulis mengkaji tentang Hak Waris atas Anak Angkat.

Kemudian, berdasarkan pernyataan diatas, muncullah permasalahan sebagai berikut:
1. Apa akibat hukum dalam pengangkatan anak ?
2. Bagaimana hak waris atas anak angkat ?


Pengertian Anak Angkat

Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”. Mahmud Syaltut, ahli Fiqh kontemporer dari Mesir menngemukakan bahwa adopsi ada dua pengertian. Pertama, mangambil anak orang lain utuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung. Sedang pengertian kedua, mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung.
Dalam bahasa Arab adopsi disebut dengan tabanny, yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus Munjid diartikannya sebagai anak.
Menurut ajaran Islam adopsi disebut tabanny. Di zaman jahiliyah sebelum agama Islam datang masalah tabanny banyak didapatkan dikalangan bangsa Arab. Bahkan menurut sejarahnya, nabi Muhammad sendiri sebelum menerima kerasulannya mempunyai anak angkat yang bernama Zaid putra Haritsah dalam status budak (sahaya) yang dihadiahkan oleh Khadijah bin Khuwailid kepada Muhammad bin Abdullah. Kemudian anak tersebut dimerdekakan dan diangkat menjadi anak angkat serta namanya diganti dengan Zaid bin Muhammad. Dihadapan kaum Quraisy Muhammad pernah mengatakan “Saksikanlah oleh kamu, bahwa Zaid kuangkat menjadi anak angkatku dan mewarisiku dan aku mewarisinya”.
Setelah Muhammad menjadi Rasul turunlah wahyu yang menegaskan masalah ini, seperti yang telah disebutkan di atas. Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan tentang peraturan waris mewaris yang menentukan bahwa hanya kepada orang-orang yang ada pertalian sedarah turunan dan perkawinan. Mulai saat itu nama Zaid bin Muhammad diganti dengan Zaid bin Haritsah.
Dengan demikian yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak (adopsi) dengan memberikan status yang sama dengan anak kandung sendiri.

Hukum Waris Bagi Anak Angkat

- Menurut Hukum Islam

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa adanya pengangkatan anak tidak berpengaruh terhadap hubungan nasab antara anak dengan orang tua angkat. Ia hanya mempunyai nasab dengan orang tua kandungnya, maka hubungan dengan orang tua angkat tetaplah hubungan antara anak dengan orang lain.
Menurut Ulama’ Fiqh dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yakni karena hubungan kekerabatan atau seketurunan (al-qarabah), karena hasil keturunan yang sah (al-musaharah), dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya. Anak angkat tidak termasuk dalam tiga faktor di atas, dalam arti bukan satu kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena itu antara dirinya dan orang tua angkatnya itu tidak saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi, maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dengan orang tua kandungnya secara timbal balik, atas dasar al-qarabah dan al-musaharah, atau mungkin kalau ada karena saling tolong menolong dengan yang meninggal semasa hidupnya.
Namun mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memperhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orang tua angkatnya. Maka Islam tidak menutup kemungkinan sama sekali anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya, namun dengan cara hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya sebelum meninggal dunia, melalui 2 orang saksi, atau ditulis dihadapan 2 orang saksi atau dihadapan pejabat notaris. Ketentuan untuk wasiat dalam hukum Islam adalah paling banyak sepertiga (1/3) harta warisan. Dalam hibah dan wasiat tidak ditentukan secara khusus siapa saja yang menerimanya.
Demikian jelas pemahamannya, bahwa anak angkat dalam hal kewarisan, ia hanya berhak memperoleh bagian waris dari harta peninggalan orang tua kandungnya. Sedangkan dengan orang tua angkat, ia hanya berhak memperoleh hibah atau wasiat atas harta peninggalan ayah angkatnya.

- Menurut Hukum Perdata

Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.
Bagian seorang anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui (erkend natuurlijk), itu tergantung dari berapa adanya anggota keluarga yang sah. Jika ada ahli waris dari golongan pertama (anak-anak beserta keturunan-keturunan dalam garis lencang kebawah), maka bagian dari anak yang lahir diluar perkawinan tersebut sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah.
Dan jikalau ia bersama-sama mewarisi dengan anggota-anggota dari golongan kedua, bagiannya menjadi separuh dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan, harus dilalkukan sedemikian rupa, sehingga bagian anak yang lahir diluar perkawinan itu, harus dihitung dan dikeluarkan lebih dulu, barulah sisanya dibagi diantara ahli waris lainnya, seolah-olah sisa warisan itu masih utuh.
Contoh :
Jika ada 2 orang anak yang lahir diluar perkawinan, disamping 3 orang anak yang sah, maka yang pertama itu akan menerima masing-masing 1/3x1/5 = 1/15, atau bersama-sama 2/15. Bagian ini harus diambilkan lebih dahulu, dan sisanya, 13/15 dibagi antara anak-anak yang sah, yang karenanya masing-masing mendapat 13/30 bagian dari warisan.


Kesimpulan
Adanya pengangkatan anak (adopsi) tidak akan merubah hubungan nasab antara anak dengan orang tua kandungnya, maka nasab ayah kandung tehadap anak tidak akan berpindah kepada ayah angkat, sehingga dalam hak waris, anak angkat hanya memperoleh harta waris dari orang tua kandungnya. Sedangkan dari orang tua angkat, ia hanya memperoleh hibah atau wasiat atas harta peninggalan ayah angkatnya.


Daftar Pustaka
R. Soeroso, S.H., Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Grafindo Persada, 2000.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nur, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra.
Ahmad Abdul Madjid, Masail Fiqhiyyah, Pasuruann Jatim, PT. Garoeda Buana, 1991.
Subekti R, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta 1985
Kompilasi Hukum Islam (KHI), cetakan kedua Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar